PENELITIAN HIDRO-ARKEOLOGI DAS PAKERISAN-PETANU KABUPATEN GIANYAR, KAJIAN TERHADAP POLA PENEMPATAN BANGUNAN SUCI
Sungai di wilayah Kabupaten Gianyar mengalir dari pegunungan di daerah utara ke arah selatan menuju Samudra Indonesia. Sungai-sungai ini kebanyakan bersifat permanen dan mengalirkan air sepanjang tahun. Beberapa yang mengalir dan mengairi wilayah Kabupaten Gianyar antara lain Sungai Oos panjangnya 44.000 meter, Sungai Petanu panjang 38.100 meter, Sungai Pakerisan panjangnya 36.500 meter, Sungai Sangsang sepanjang 32.500 meter, Sungai Sangku panjangnya 6.500 meter, Sungai Dos panjangnya 453.500 meter, dan Sungai Nangka panjangnya 7.000 meter. Sungai Cangkir merupakan batas dengan Kabupaten Badung, dan Sungai Melangit merupakan pembatas wilayah Kabupaten Gianyar dengan Kabupaten Klungkung (Bappeda, Gianyar 2019).
Pakerisan adalah sungai yang secara kosmologis mengalir dari perbukitan Kintamani. Sungai Pakerisan melewati tiga kecamatan yakni Tampaksiring, Blahbatuh, Gianyar dan bermuara di antara pantai Lebih dan pantai Cucukan. Sungai ini mengalir di wilayah tengah ke selatan pulau Bali yang beriklim hujan hutan tropis. Secara visual kondisi panorama kiri kanan sungai Pakerisan di bagian hulu masih alami, terutama dari daerah Tampaksiring sampai Blahbatuh. Hal ini karena kondisi sungainya lebih dimanfaatkan untuk pertanian. Bagian hulu juga dimanfaatkan untuk wisata air. Bagian tengah kendati dominan dimanfaatkan untuk pertanian, terdapat juga usaha perternakan.
Hasil penelusuran melalui studi peta digital, sungai utama Pakerisan- Petanu melintang dari utara ke selatan sepanjang 47,2 km. Sungai Petanu merupakan bagian dari satu sistem sungai dalam siklus hidrologi di pulau Bali, khususnya di Kabupaten Gianyar. Sungai-sungai besar atau utama di Kabupaten Gianyar selain Pakerisan-Petanu adalah Sungai Wos mengalir di sebelah barat. Daerah hulu sungai-sungai ini adalah Danau Batur dan sekitarnya, yang berfungsi sekaligus sebagai daerah penyimpanan dan tangkapan air (gambar 43). Aliran kedua sungai ini melewati 12 desa yaitu Desa Manukaya,Tampaksiring, Sanding, Pejeng Kaja, Pejeng kelod, Pejeng, Bedulu, Buruan, Bitra, Siangan, Suwat dan Sumita serta Desa Kedisan. Adapun Lokasi dari desa-desa ini sebagian ada yang di sisi barat aliran sungai Pakerisan dan sebagian lagi berada pada sisi timur sungai Pakerisan serta adapula yang berlokasi di sebelah barat Sungai Petanu. Hampir semua pura yang ada memanfaatkan mata air yang ada di kedua sungai ini sebagai air suci (tirtha) tatkala melakukan ritual. Umumnya pada mata air yang ada dibangun beji atau taman yang berbentuk bulakan atau telaga. Itulah sebabnya mengapa semua pura memiliki kaitan yang sangat erat dengan sungai.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, tinggalan-tinggalan arkeologi yang ada di sepanjang DAS Pakerisan-Petanu berasal dari periodisasi yang beragam yaitu dari masa prasejarah dan masa klasik. Tinggalan arkeologi yang ditemukan didominasi oleh tinggalan yang bercorak Siwaistik. Tinggalan tersebut berupa arca ganesha, arca pancuran, arca perwujudan bhatara bhatari, lingga, prasasti, ceruk pertapaan, candi tebing, arca durga mahisasuramardini, lingga-yoni, arca penjaga, arca naga, yoni, arca nandi, mata air, arca singa, menhir, lingga kembar, arca bhatara guru, nekara, arca siwa mahaguru, wisnu di atas garuda, arca bhairawa, arca catur kaya, batu peripih, arca sepasang laki-perempuan, makara, prasasti jayastambha yang ditemukan di Desa Tiga, batu gong, arca siwa bhairawa, dan beberapa komponen bangunan. Kearifan lokal masyarakat di sepanjang DAS Pakerisan-Petanu terkait pengelolaan air terlihat dari pemanfaatan mata air yang ada di sekitar sungai. Masyarakat di sekitar lokasi memanfaatkan mata air ini sebagai air suci atau tirtha pada setiap kegiatan keagamaan. Pemanfaatan tersebut merupakan salah satu upaya untuk memproteksi lingkungan.
Bangunan suci yang ada di sepanjang DAS Pakerisan-Petanu menampakan pola linear yang mengikuti alur sungai. Pada beberapa desa seperti Desa Tampaksiring, Manukaya, Sanding, dan Pejeng terlihat pula pola bangunan suci yang mengelompok berdasarkan fungsi dari masing-masing pura tersebut. Pola bangunan suci yang ditemukan di lokasi penelitian menunjukkan kesesuaian dengan uraian dalam naskah Siwa Sesana yang mengkategorikan pura menjadi pertiwi jati dan guru.
Ditulis oleh: I Nyoman Sunarya