PENELITIAN POLA RUANG ISTANA DOMPU: STUDI KASUS SITUS DORO BATA
Situs Doro Bata berada di lingkungan Sambi Tangga, Kelurahan Kandai I, Kecamatan Dompu, Kabupaten Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara astronomis berada pada koordinat 8° 32ʹ 38ʹʹ LS dan 118° 27ʹ 27ʹʹ BT. Situs ini terletak pada sebuah bukit yang dibentuk berupa teras berundak sebanyak 7 teras, yang pernah dimanfaatkan sebagai tempat pemujaan leluhur dan kekuatan alam masa Ncuhi, tempat pemujaan leluhur dan para dewa masa Hindu-Buddha, pasca masuknya pengaruh Majapahit tahun 1357. Terakhir dimanfaatkan sebagai tempat berdirinya istana Kesultanan Dompu sekitar tahun 1545 dan ditinggalkan pasca meletusnya Gunung Tambora tahun 1815.
Bukit Doro Bata dilihat dari kondisinya sekarang terletak pada sebuah cekungan, yang dibatasi oleh jajaran perbukitan di sekelilingnya. Sepintas puncak bukit ini seperti dataran dengan luas ± 1551,84 m2 di sekitarnya terdapat beberapa sumber mata air dan sungai seperti sungai Nae, Silo, dan Soa dengan air yang melimpah yang airnya tidak langsung dibuang ke laut, tetapi dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti mengairi kolam ikan keperluan mandi, cuci, mengairi sawah masyarakat yang subur yang membentang luas di sekitar situs, sehingga tidak heran jika kerajaan Dompu di masa lalu adalah kerajaan yang berpenghasilan utama berupa beras.
Pemilihan tempat tinggi seperti menjadi pertimbangan utama untuk membangun sebuah istana karena dengan tempat tinggi lebih gampang memantau dan menanggulangi serangan musuh, baik dari darat maupun laut. Pada arah barat dan selatan Bukit Doro Bata yang sekarang merupakan areal persawahan dulunya merupakan lautan terusan teluk Cempi. Selain sebuah terusan teluk, di wilayah ini juga terdapat sebuah pelabuhan yang bernama Sorebawa. Kalau data ini benar berarti Dompu pada masa lalu merupakan daerah strategis yang memiliki kekuasaan cukup besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan peristiwa Padompo, disebutkan pada peristiwa ini ada tiga arah yang dilalui untuk menyerang Dompu yaitu Teluk Cempi, Teluk Kempo atau Saleh, dan Teluk Bima.
Pola ruang Situs Doro Bata sebagai permukiman, nampaknya mengadopsi kearifan tradisional Dompu melalui pemilihan lokasi permukiman dengan mempertimbangkan aspek batuan lahan, bentuk permukaan lahan, ketersediaan sumber air dan kesuburan tanah yang dikenal dengan leka dana. Kearifan ini merupakan warisan pemilihan tempat permukiman dari masa Ncuhi dahulu sebagai pimpinan masyarakat sebelum Dompu mendapatkan pengaruh budaya India dan Islam. Masa itu rumah Ncuhi menjadi tempat berasalnya semua perintah dalam menjalankan tatanan kehidupan bagi masyarakat. Rumah Ncuhi selalu memilih areal yang tinggi, biasanya di atas bukit atau dataran tinggi. Rumah Ncuhi adalah tempat bersemayamnya arwah para leluhur, kemudian dikelilingi oleh rumah penduduk. Hal ini nampak pada permukiman penduduk pendukung situs, di mana areal pemukiman penduduk berada di sekeliling situs yaitu di areal Doro Mpana, Waru Kali, Sambi Tangga dan sekitarnya, karena di daerah ini juga ditemukan struktur batu bata yang setipe dengan dengan batu bata yang ditemukan di Situs Doro Bata, serta temuan lainnya berupa pecahan-pecahan gerabah.
Selain pemilihan tempat yang tinggi, pemilihan lokasi pemukiman dekat dengan sumber mata air dan sungai dalam pendirian Situs Doro Bata nampaknya juga dilandasi akan adanya kepercayaan kepada arwah leluhur dan kekuatan alam. Kepercayaan semacam ini telah berakar masa Ncuhi yang mendiami beberapa tempat yang dianggap keramat oleh masyarakat, yang secara langsung memberikan pengaruh dalam kehidupan masyarakat terutama dalam menjaga kesehatan, keselamatan dan rejeki. Tempat-tempat tersebut adalah mata air, muara, sungai, dan tepi pantai, yang semuanya diyakini didiami olehnya. Dalam radius tertentu di sekeliling mata air, muara, tepi sungai ataupun tepi pantai tidak boleh dipergunakan untuk kegiatan terbangun dan keramaian. Ruang tersebut dikeramatkan dan menjadi ruang imajiner.
Pada masa ini, keberadaan ncuhi (kepala suku) sangat berpengaruh, karena diyakini mempunyai kemampuan dan ilmu-ilmu khusus, sehingga dipercaya sebagai titisan dari para arwah leluhur atau Parafu. Ncuhi mempunyai peran sebagai pemimpin masyarakat, yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat pada saat itu. Ncuhi sendiri yang mementukan kapan masa tanam dimulai, upacara persembahan, juga sebagai sando (tabib). Karena perannya tersebut, maka uma ncuhi (tempat tinggal ncuhi) berada ditengah-tengah kawasan pemukiman. Di sekelilingnya adalah rumah para penduduk, kemudian areal bercocok tanam serta hutan. Pemilihan lokasi yang tinggi adalah sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan masa itu, bahwa tempat yang tinggi adalah tempat yang terlindungi karena merupakan kediaman para arwah leluhur, terjaga dari serangan binatang buas maupun musuh, mudah mengamati keadaan, serta terjaga dari cuaca.
Kearifan lokal semacam inilah diduga sebagai dasar pertimbangan dalam pemilihan lingkungan dan pendirian bangunan di Situs Doro Bata, dengan menseimbangkan kebutuhan jasmani dan rohani, sehingga masyarakat pendukungnya dapat hidup sejahtera, berlanjut hingga mendapatkan pengaruh budaya India bahkan hingga mendapatkan pengaruh Islam. Pendirian bangunan yang dimaksud berupa penerapan sistem dan tata nilai dalam bentuk konsep “wati tuba doro”. Konsep ini merupakan konsep skala mezo yang diterapkan dan diyakini oleh masyarakat Dompu dalam menata kawasan pemukimannnya.
Wati Tuba Doro adalah suatu ketentuan dalam menentukan arah bangunan di mana masyarakat Dompu mendirikan setiap bangunan, baik rumah tempat tinggal maupun bangunan untuk fungsi lainnya, arahnya tidak boleh menusuk atau bertentangan dengan arah gunung. Dengan kata lain setiap bangunan arah hadapnya harus searah dengan arah gunung, mengikuti arah aliran sungai, dan mempertimbangkan arah mata angin. Setiap bangunan yang didirikan, harus searah dengan gunung. Pengaturan arah bangunan ini merupakan sebuah respon atas keyakinan dan kepercayaan masyarakat Dompu tentang keberadaan gunung yang memberikan pengaruh terhadap keberlangsungan hidup masyarakat. Nilai yang diyakini masyarakat Dompu pada masa itu adalah bahwa gunung merupakan salah satu sumber kehidupan bagi masyarakat, tempat dimana kebutuhan hidup tersedia, tempat bersemayamnya arwah leluhur dan dekat dengan langit.
Berdasarkan keyakinan masyarakat, apa bila bangunan tempat tinggal berlawanan dengan arah gunung atau arahnya menusuk gunung maka keberlangsungan hidup masyarakat akan terganggu, keluarga yang tinggal dalam bangunan tersebut akan sering sakit, rumah tangga tidak tentram, sering bertengkar, bisa mengakibatkan kemiskinan, rejeki yang seret, tidak bisa berinteraksi dengan baik bersama tetangga, bisa menyebabkan kematian bagi penghuni bangunan dan lain sebaginya.
Ditulis oleh: I Nyoman Rema